Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani:
Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa adab (etika) Seorang murid secara keseluruhan tidak dapat dihitung jumlahnya, dan tidak dapat dijelaskan secara detail. Akan tetapi berikut akan saya sebutkan sekilas tentang adab yang patut untuk dilakukan seorang murid.
Pada dasarnya, tugas seorang guru terhadap murid hanyalah berusaha mengeluarkan untuk si murid apa yang masih terpendam di dalam jiwanya, dan bukan yang lain. Sebab Allah Swt. telah menebarkan pada setiap ruh (jiwa) sifat-sifat terpuji dan tercela yang berhubungan dengan orang yang bersangkutan. Maka segala sesuatu yang diperintah atau dilarang oleh sang guru mesti berkaitan dengan apa yang terpendam dalam jiwa tersebut.
Seorang guru tidak akan memberikan kepada Si murid apa yang di luar jiwanya. Sebab seorang murid pada tahap pertama ibarat sebutir benih yang menyimpan segala rahasia, dimana benih itu akan menjadi pohon kurma misalnya, atau jadi pohon yang lain. Perjalanan Si murid dalam menempuh tarekat ini akan benar dan jujur atau akan menjadi pendusta tergantung pada benih yang ada. Kalau si murid ini menjadi seorang yang benar dan jujur, maka dari “batang pohon” itu akan mengeluarkan ranting yang bakal berbuah, dimana buah tersebut akan menyenangkan semua orang yang ada di sekitarnya, dan mereka pun makan dari buahnya, bahkan buahnya akan tersebar ke seluruh penduduk daerah dan negerinya. Semua orang mengambil manfaat dari pohon tersebut.
Kejujuran dan kebaikannya akan tampak pada semua orang, baik di kalangan umum maupun tertentu, bahkan kalau misalnya ia ingin menutupi kebaikannya agar tidak diketahui mereka, ia pun tidak akan sanggup melakukannya. Begitu sebaliknya, jika ia seorang murid yang bohong dalam cintanya terhadap jalan yang ia tempuh, maka “batang pohon” kebohongan dan kemunafikannya akan bercabang, sehingga dirasakan oleh semua orang yang ada di sekitarnya, tersebar ke seluruh daerah dan negerinya. Kebohongan, kemunafikan dan pamernya akan kelihatan pada semua orang. Bahkan kalau berpura-pura menampakkan kejujuran ia tidak akan sanggup melakukannya.
Sebab perbuatannya yang rendah akan mendustakan segala pengakuannya, dan pada akhirnya semua aibnya akan terbuka dan tersingkirkan dari jalan menuju Allah. Ia akan terlempar ke pemahaman orang-orang awam, sebagai hukuman atas kebohongannya terhadap tarekat menuju Allah Azza wa Jalla. Dan barangkali Allah pernah memberinya keharuman dan kejujuran kemudian diambil kembali oleh Allah. Kemudian semua orang akan berkata, “Si fulan telah terusir dari tarekat kaum fakir (sufi), sehingga tidak ada semerbak keharumannya lagi.” Akhirnya ia hanya sekadar mengenakan serban panjang, memelihara rambut hingga panjang, mengenakan pakaian wol (pakaian khas kaum sufi), dan berhias dengan pakaian kaum sufi, sementara manusia melihatnya telanjang dari adab, dan hampir semua perilaku negatifnya tidak bisa dirahasiakan dan siapa pun.
Maka bangunlah segala perkara anda atas dasar kejujuran dalam mencari tarekat (jalan menuju Allah), sebab kalau tidak, maka anda akan dijauhi oleh tarekat sekalipun dalam waktu yang cukup lama. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Jika anda telah tahu akan hal itu, maka sekarang saya mulai berbicara, — dan hanya Allah Yang memberi pertolongan: Diantara perilaku seorang murid adalah harus memiliki kejujuran dalam mencintai seorang guru. Sebab gurulah yang akan menunjukkannya ketika ia sedang menempuh perjalanan dalam hal-hal yang gaib. Ia ibarat seorang penunjuk jalan bagi jamaah haji ketika di kegelapan malam. Tentu saja kecintaan itu mengharuskan seseorang untuk selalu taat, demikian sebaliknya, tidak adanya kecintaan itu ditunjukkan dengan selalu menyalahi dan menentang perintah guru. Maka barangsiapa menentang orang yang menunjukkannya ia akan tersesat dan perjalanannya akan terhenti, dan pada akhirnya akan hancur.
Kejujuran dalam mencintai seorang guru hendaknya tidak ada yang sanggup memalingkannya, bahkan tidak ada pedang dan segala yang menyakitkan sanggup mengusirnya. Ada diantara orang yang mengaku dirinya jujur dalam mencintai guru dan saudara-saudaranya dalam tarekat, bahkan katanya tidak ada yang sanggup memalingkannya sekalipun mereka harus menjauhi dan tidak menyapanya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Berita ini akhirnya tersebar ke semua orang, baik di kalangan orang-orang awam maupun orang-orang tertentu. Suatu ketika ia berdiri dan melantunkan bait syair di depan kaum fakir (sufi).
Andaikan mereka menyiksaku setiap hari dan setiap malam
tanpa kesalahan apa pun tentu hal itu membuatku senang dan rela
Kemudian ada salah seorang dari para murid yang cerdik membantahnya dengan mengatakan, “Anda berbohong!” Akhirnya ia gundah dan pikirannya kacau lalu ia duduk. Apa yang ada dalam benaknya cukup kelihatan di raut wajahnya. Akhirnya para murid sufi sepakat, bahwa ia adalah pembohong, lalu mereka berkata kepadanya: “Bagaimana anda bisa mengatakan sebagaimana yang anda katakan tadi, sementara pikiran anda telah kacau hanya karena omongan sebagian orang yang mengatakan anda adalah pembohong?! Apabila anda tidak sanggup memikul satu beban saja, lalu bagaimana anda akan sanggup memikul beban untuk selalu disiksa setiap hari dan setiap malam tanpa ada kesalahan apa pun yang anda lakukan sebelumnya?! Akhirnya orang yang sekadar mengaku jujur dalam cintanya ini beristigfar dan mengakui kebohongannya.
Maka benar-benar jujurlah —wahai saudaraku— dalam mencintai sang guru, anda akan mendapatkan segala kebaikan. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Dan diantara adab seorang murid, hendaknya tidak ikut masuk ke dalam perjanjian (sumpah) seorang guru (tarekat) sampai ia lebih dahulu bertobat dari segala dosa, baik dosa secara lahir maupun batin. Misalnya menggunjing, minum-minuman keras, dengki, iri hati dan lain-lain. Ia juga harus bisa rela terhadap semua lawan yang berusaha merampas harga diri maupun harta. Sebab hadirat tarekat Galan menuju Allah) adalah hadirat Allah Azza Jalla. Maka barangsiapa tidak menyucikan diri dari segala dosa, baik lahir maupun batin, maka tidak dibenarkan ia masuk ke hadirat ini. Ia ibarat orang yang mau menjalankan ibadah shalat, sementara di tubuh atau pakaiannya terdapat najis yang tidak bisa dimaafkan, atau karena tempatnya jauh dari air sehingga tidak bisa disucikan dengan air, tentu saja shalatnya tidak sah. Demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat dengan kondisi kotor dengan dosa, maka ia tetap batal, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali. Ia tidak akan sanggup mengantarkannya dan berjalan bersamanya untuk menuju tarekat Ahlullah sekalipun hanya selangkah, terkecuali sebelumnya telah menyucikan diri dari segala dosa.
Poin ini rupanya banyak dilupakan oleh sebagian besar orang. Mereka tergesa-gesa mengambil sumpah (janji) sang murid, sementara pada diri sang murid masih banyak dosa, baik lahir maupun batin, terutama yang menyangkut hak-hak para hamba dalam masalah harta maupun harga diri sehingga tidak akan ada manfaatnya dalam menempuh tarekat. Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Khawwash — rahimahullah — mengatakan: “Tarekat (jalan) orang-orang yang menuju kepada Allah adalah ibarat mau masuk surga. Maka sebagaimana yang terdapat dalam Hadis sahih, tidak seorang pun dari calon penghuni surga diperkenankan masuk ke dalam surga sementara pada dirinya masih ada hak anak cucu Adam. Maka demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian definisi tobat adalah kembali dan apa saja yang secara hukum (syariat) itu tercela menuju kepada apa yang secara hukum itu terpuji. Sehingga masing-masing orang yang bertobat akan memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri. Bisa jadi apa yang menurut seseorang hal itu terpuji, tapi justru orang lain malah menganggapnya tercela, lalu bertobat dan beristigfar dari hal yang menurut orang pertama tersebut terpuji. Ini termasuk bagian dari, “Kebaikan orang-orang yang baik (al-abrar) adalah kejelekan bagi orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-mu qarrabin).”
Perlu anda ketahui, bahwa orang yang selalu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan syariat, makan hal-hal yang menjadi kesenangan nafsu, dan senantiasa bergelut dengan hal-hal yang diharamkan, maka jarak antara orang ini dengan tarekat menuju Allah, ibarat jarak antara langit dengan bumi. Kemudian anda harus tahu, bahwa perilaku dari nafsu adalah selalu mengaku dengan pengakuan palsu. Barangkali ia mengaku benar-benar hertobat dengan sejujurnya, tapi pengakuannya hanya kebohongan. Maka hal itu tidak bisa diterima kecuali dengan kesaksian seorang guru akan kejujurannya dalam segala tingkatan spiritual yang diakuinya telah bertobat, sampai pada akhirnya ia mencapai pada tingkatan bertobat dari tindakan lengah dan kesaksian diri akan Tuhannya sekalipun hanya sekejap mata. Kemudian dari tingkatan ini naik lagi ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu mengagungkan Allah Swt. untuk selama-lamanya, yang tidak pernah berhenti sekejap pun untuk mengagungkan-Nya. Inilah tingkatan akhir dan apa yang kaum sufi katakan tentang tingkatan-tingkatan tobat.
Pada awalnya bertobat dari segala dosa besar, kemudian pada tingkatan bertobat dan dosa-dosa kecil, kemudian dan hal-hal yang tidak disenangi secara syariat, kemudian meninggalkan hal-hal yang apabila dilakukan akan melanggar keutamaan, kemudian bertobat dan tidak lagi melihat kebaikan-kebaikannya, kemudian bertobat untuk tidak lagi melihat dirinya termasuk kelompok kaum fakir sufi di zaman ini. —Dan hanya AllahYang Mahatahu.
Dan diantara perilaku seorang murid, hendaknya selalu melakukan mujahadat (perjuangan spiritual) untuk memerangi nafsunya. Maka selamanya ia tidak akan pernah kompromi dengan nafsunya. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadat maka Allah akan menghiasi batinnya dengan musyahadat (kesaksian diri kepada Tuhannya). Maka barangsiapa pada tahapan awal tidak melakukan mujahadat pada diri (nafsu) nya, maka ia tidak akan bisa mencium bau tarekat menuju Allah. ”Sebab telah menjadi ciri khas kaum sufi yang menempuh tarekat kepada Allah, apabila seorang hamba tidak mau memberikan hak tarekat secara keseluruhan maka tarekat juga tidak akan memberinya sekalipun hanya sebagian.
Abu Utsman al-Maghribi — rahimahullah — mengatakan:
“Barangsiapa mengira, bahwa ia akan dibukakan sedikit dari tarekat Ahlullah tanpa dengan mujahadat, maka ia benar-benar menginginkan hal yang mustahil.”
Abu Au ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa di permulaannya tidak memiliki penyangga maka di akhirnya tidak akan menemukan kedudukan.”
Hasan al-’Arar berkata: “Tarekat kaum sufi ini dibangun atas tiga dasar: Seorang murid tidak makan kecuali bila sangat membutuhkan, tidak akan tidur kecuali bila sudah terkalahkan oleh kantuk, dan tidak akan berbicara kecuali bila secara hukum dianggap darurat.”
Ibrahim bin Adham — rahimahullah — mengatakan: “Seseorang tidak akan mendapatkan tingkatan orang-orang saleh sehingga pada dirinya terdapat enam hal: Selalu berjuang melawan nafsu, hina karenanya, tidak tidur di malam hari, lebih suka sedikit dengan masalah duniawi, senang ketika ditinggalkan dunia, dan memperpendek angan-angan.”
Sementara itu asy-Syibli — rahimahullah — memukuli dirinya dengan potongan rotan bila rasa kantuk tiba, sampai habis satu ikat ketika menjelang Subuh. Ia sering kali memberi celak matanya dengan garam sehingga tidak bisa tidur. Ia juga sering memukulkan kedua tangan dan kakinya ke dinding bila tidak menemukan alat untuk memukuli dirinya. Ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang berusaha menghalauku kecuali aku berhasil menundukkannya.”
Hal-hal seperti ini tidak semestinya seseorang melawan dan menyudutkan orang-orang yang melakukannya, karena hal ini bagi mereka dianggap dari bagian mencari alternatif yang paling ringan risikonya dari dua alternatif yang sama-sama berbahaya.
Mereka melihat, bahwa menanggung penderitaan sakit di tubuh dianggap lebih ringan risikonya daripada menanggung beban penderitaan karena lupa akan Tuhannya akibat tidur atau yang lain. Ini sebaliknya pendapat yang dipilih oleh selain kaum sufi. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Diantara perilaku yang harus dilakukan seorang murid, hendaknya tidak berbicara dan juga tidak diam kecuali bila secara hukum dianggap darurat atau diperlukan. Mereka telah menganggap bahwa sedikit bicara adalah salah satu dan sendi-sendi latihan spiritual (riyadhat). Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan: “Apabila berbicara itu membuat anda kagum, maka diamlah. Dan apabila diam itu membuat anda kagum maka berbicaralah. Sebab pada pembicaraan terdapat bagian dan kepentingan din dan menampakkan sifat-sifat terpuji.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. sering kali meletakkan kerikil di dalam mulutnya, sehingga ia bisa mengurangi berbicara. Ketika ia ingin berbicara yang tidak ada manfaatnya maka ia ingat dengan kerikil yang ada di mulutnya. Konon katanya, ia meletakkan kerikil di mulutnya selama setahun.
Rasulullah Saw bersabda: “Manusia dijungkir-balikkan kepalanya di neraka hanya karena hasil panen lidahnya.”
Diantara perilaku yang harus dilakukan para murid adalah sering kali merasakan lapar dengan cara yang dibenarkan oleh syariat. Poin ini merupakan poin yang ditekankan dalam menempuh tarekat. Sebagaimana Allah telah menjadikan wukuf di Arafah bagian rukun yang terpenting dalam pelaksanaan ibadah haji, maka Nabi Saw mengatakan, “Haji adalah Arafah.” Maka orang-orang yang menempuh jalan Allah menjadikan lapar adalah jalan menuju Allah.
Sumber:
http://www.sufinews.com/index.php/Artikel/adab-seorang-murid.sufi
Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa adab (etika) Seorang murid secara keseluruhan tidak dapat dihitung jumlahnya, dan tidak dapat dijelaskan secara detail. Akan tetapi berikut akan saya sebutkan sekilas tentang adab yang patut untuk dilakukan seorang murid.
Pada dasarnya, tugas seorang guru terhadap murid hanyalah berusaha mengeluarkan untuk si murid apa yang masih terpendam di dalam jiwanya, dan bukan yang lain. Sebab Allah Swt. telah menebarkan pada setiap ruh (jiwa) sifat-sifat terpuji dan tercela yang berhubungan dengan orang yang bersangkutan. Maka segala sesuatu yang diperintah atau dilarang oleh sang guru mesti berkaitan dengan apa yang terpendam dalam jiwa tersebut.
Seorang guru tidak akan memberikan kepada Si murid apa yang di luar jiwanya. Sebab seorang murid pada tahap pertama ibarat sebutir benih yang menyimpan segala rahasia, dimana benih itu akan menjadi pohon kurma misalnya, atau jadi pohon yang lain. Perjalanan Si murid dalam menempuh tarekat ini akan benar dan jujur atau akan menjadi pendusta tergantung pada benih yang ada. Kalau si murid ini menjadi seorang yang benar dan jujur, maka dari “batang pohon” itu akan mengeluarkan ranting yang bakal berbuah, dimana buah tersebut akan menyenangkan semua orang yang ada di sekitarnya, dan mereka pun makan dari buahnya, bahkan buahnya akan tersebar ke seluruh penduduk daerah dan negerinya. Semua orang mengambil manfaat dari pohon tersebut.
Kejujuran dan kebaikannya akan tampak pada semua orang, baik di kalangan umum maupun tertentu, bahkan kalau misalnya ia ingin menutupi kebaikannya agar tidak diketahui mereka, ia pun tidak akan sanggup melakukannya. Begitu sebaliknya, jika ia seorang murid yang bohong dalam cintanya terhadap jalan yang ia tempuh, maka “batang pohon” kebohongan dan kemunafikannya akan bercabang, sehingga dirasakan oleh semua orang yang ada di sekitarnya, tersebar ke seluruh daerah dan negerinya. Kebohongan, kemunafikan dan pamernya akan kelihatan pada semua orang. Bahkan kalau berpura-pura menampakkan kejujuran ia tidak akan sanggup melakukannya.
Sebab perbuatannya yang rendah akan mendustakan segala pengakuannya, dan pada akhirnya semua aibnya akan terbuka dan tersingkirkan dari jalan menuju Allah. Ia akan terlempar ke pemahaman orang-orang awam, sebagai hukuman atas kebohongannya terhadap tarekat menuju Allah Azza wa Jalla. Dan barangkali Allah pernah memberinya keharuman dan kejujuran kemudian diambil kembali oleh Allah. Kemudian semua orang akan berkata, “Si fulan telah terusir dari tarekat kaum fakir (sufi), sehingga tidak ada semerbak keharumannya lagi.” Akhirnya ia hanya sekadar mengenakan serban panjang, memelihara rambut hingga panjang, mengenakan pakaian wol (pakaian khas kaum sufi), dan berhias dengan pakaian kaum sufi, sementara manusia melihatnya telanjang dari adab, dan hampir semua perilaku negatifnya tidak bisa dirahasiakan dan siapa pun.
Maka bangunlah segala perkara anda atas dasar kejujuran dalam mencari tarekat (jalan menuju Allah), sebab kalau tidak, maka anda akan dijauhi oleh tarekat sekalipun dalam waktu yang cukup lama. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Jika anda telah tahu akan hal itu, maka sekarang saya mulai berbicara, — dan hanya Allah Yang memberi pertolongan: Diantara perilaku seorang murid adalah harus memiliki kejujuran dalam mencintai seorang guru. Sebab gurulah yang akan menunjukkannya ketika ia sedang menempuh perjalanan dalam hal-hal yang gaib. Ia ibarat seorang penunjuk jalan bagi jamaah haji ketika di kegelapan malam. Tentu saja kecintaan itu mengharuskan seseorang untuk selalu taat, demikian sebaliknya, tidak adanya kecintaan itu ditunjukkan dengan selalu menyalahi dan menentang perintah guru. Maka barangsiapa menentang orang yang menunjukkannya ia akan tersesat dan perjalanannya akan terhenti, dan pada akhirnya akan hancur.
Kejujuran dalam mencintai seorang guru hendaknya tidak ada yang sanggup memalingkannya, bahkan tidak ada pedang dan segala yang menyakitkan sanggup mengusirnya. Ada diantara orang yang mengaku dirinya jujur dalam mencintai guru dan saudara-saudaranya dalam tarekat, bahkan katanya tidak ada yang sanggup memalingkannya sekalipun mereka harus menjauhi dan tidak menyapanya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Berita ini akhirnya tersebar ke semua orang, baik di kalangan orang-orang awam maupun orang-orang tertentu. Suatu ketika ia berdiri dan melantunkan bait syair di depan kaum fakir (sufi).
Andaikan mereka menyiksaku setiap hari dan setiap malam
tanpa kesalahan apa pun tentu hal itu membuatku senang dan rela
Kemudian ada salah seorang dari para murid yang cerdik membantahnya dengan mengatakan, “Anda berbohong!” Akhirnya ia gundah dan pikirannya kacau lalu ia duduk. Apa yang ada dalam benaknya cukup kelihatan di raut wajahnya. Akhirnya para murid sufi sepakat, bahwa ia adalah pembohong, lalu mereka berkata kepadanya: “Bagaimana anda bisa mengatakan sebagaimana yang anda katakan tadi, sementara pikiran anda telah kacau hanya karena omongan sebagian orang yang mengatakan anda adalah pembohong?! Apabila anda tidak sanggup memikul satu beban saja, lalu bagaimana anda akan sanggup memikul beban untuk selalu disiksa setiap hari dan setiap malam tanpa ada kesalahan apa pun yang anda lakukan sebelumnya?! Akhirnya orang yang sekadar mengaku jujur dalam cintanya ini beristigfar dan mengakui kebohongannya.
Maka benar-benar jujurlah —wahai saudaraku— dalam mencintai sang guru, anda akan mendapatkan segala kebaikan. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Dan diantara adab seorang murid, hendaknya tidak ikut masuk ke dalam perjanjian (sumpah) seorang guru (tarekat) sampai ia lebih dahulu bertobat dari segala dosa, baik dosa secara lahir maupun batin. Misalnya menggunjing, minum-minuman keras, dengki, iri hati dan lain-lain. Ia juga harus bisa rela terhadap semua lawan yang berusaha merampas harga diri maupun harta. Sebab hadirat tarekat Galan menuju Allah) adalah hadirat Allah Azza Jalla. Maka barangsiapa tidak menyucikan diri dari segala dosa, baik lahir maupun batin, maka tidak dibenarkan ia masuk ke hadirat ini. Ia ibarat orang yang mau menjalankan ibadah shalat, sementara di tubuh atau pakaiannya terdapat najis yang tidak bisa dimaafkan, atau karena tempatnya jauh dari air sehingga tidak bisa disucikan dengan air, tentu saja shalatnya tidak sah. Demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat dengan kondisi kotor dengan dosa, maka ia tetap batal, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali. Ia tidak akan sanggup mengantarkannya dan berjalan bersamanya untuk menuju tarekat Ahlullah sekalipun hanya selangkah, terkecuali sebelumnya telah menyucikan diri dari segala dosa.
Poin ini rupanya banyak dilupakan oleh sebagian besar orang. Mereka tergesa-gesa mengambil sumpah (janji) sang murid, sementara pada diri sang murid masih banyak dosa, baik lahir maupun batin, terutama yang menyangkut hak-hak para hamba dalam masalah harta maupun harga diri sehingga tidak akan ada manfaatnya dalam menempuh tarekat. Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Khawwash — rahimahullah — mengatakan: “Tarekat (jalan) orang-orang yang menuju kepada Allah adalah ibarat mau masuk surga. Maka sebagaimana yang terdapat dalam Hadis sahih, tidak seorang pun dari calon penghuni surga diperkenankan masuk ke dalam surga sementara pada dirinya masih ada hak anak cucu Adam. Maka demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian definisi tobat adalah kembali dan apa saja yang secara hukum (syariat) itu tercela menuju kepada apa yang secara hukum itu terpuji. Sehingga masing-masing orang yang bertobat akan memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri. Bisa jadi apa yang menurut seseorang hal itu terpuji, tapi justru orang lain malah menganggapnya tercela, lalu bertobat dan beristigfar dari hal yang menurut orang pertama tersebut terpuji. Ini termasuk bagian dari, “Kebaikan orang-orang yang baik (al-abrar) adalah kejelekan bagi orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-mu qarrabin).”
Perlu anda ketahui, bahwa orang yang selalu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan syariat, makan hal-hal yang menjadi kesenangan nafsu, dan senantiasa bergelut dengan hal-hal yang diharamkan, maka jarak antara orang ini dengan tarekat menuju Allah, ibarat jarak antara langit dengan bumi. Kemudian anda harus tahu, bahwa perilaku dari nafsu adalah selalu mengaku dengan pengakuan palsu. Barangkali ia mengaku benar-benar hertobat dengan sejujurnya, tapi pengakuannya hanya kebohongan. Maka hal itu tidak bisa diterima kecuali dengan kesaksian seorang guru akan kejujurannya dalam segala tingkatan spiritual yang diakuinya telah bertobat, sampai pada akhirnya ia mencapai pada tingkatan bertobat dari tindakan lengah dan kesaksian diri akan Tuhannya sekalipun hanya sekejap mata. Kemudian dari tingkatan ini naik lagi ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu mengagungkan Allah Swt. untuk selama-lamanya, yang tidak pernah berhenti sekejap pun untuk mengagungkan-Nya. Inilah tingkatan akhir dan apa yang kaum sufi katakan tentang tingkatan-tingkatan tobat.
Pada awalnya bertobat dari segala dosa besar, kemudian pada tingkatan bertobat dan dosa-dosa kecil, kemudian dan hal-hal yang tidak disenangi secara syariat, kemudian meninggalkan hal-hal yang apabila dilakukan akan melanggar keutamaan, kemudian bertobat dan tidak lagi melihat kebaikan-kebaikannya, kemudian bertobat untuk tidak lagi melihat dirinya termasuk kelompok kaum fakir sufi di zaman ini. —Dan hanya AllahYang Mahatahu.
Dan diantara perilaku seorang murid, hendaknya selalu melakukan mujahadat (perjuangan spiritual) untuk memerangi nafsunya. Maka selamanya ia tidak akan pernah kompromi dengan nafsunya. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadat maka Allah akan menghiasi batinnya dengan musyahadat (kesaksian diri kepada Tuhannya). Maka barangsiapa pada tahapan awal tidak melakukan mujahadat pada diri (nafsu) nya, maka ia tidak akan bisa mencium bau tarekat menuju Allah. ”Sebab telah menjadi ciri khas kaum sufi yang menempuh tarekat kepada Allah, apabila seorang hamba tidak mau memberikan hak tarekat secara keseluruhan maka tarekat juga tidak akan memberinya sekalipun hanya sebagian.
Abu Utsman al-Maghribi — rahimahullah — mengatakan:
“Barangsiapa mengira, bahwa ia akan dibukakan sedikit dari tarekat Ahlullah tanpa dengan mujahadat, maka ia benar-benar menginginkan hal yang mustahil.”
Abu Au ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa di permulaannya tidak memiliki penyangga maka di akhirnya tidak akan menemukan kedudukan.”
Hasan al-’Arar berkata: “Tarekat kaum sufi ini dibangun atas tiga dasar: Seorang murid tidak makan kecuali bila sangat membutuhkan, tidak akan tidur kecuali bila sudah terkalahkan oleh kantuk, dan tidak akan berbicara kecuali bila secara hukum dianggap darurat.”
Ibrahim bin Adham — rahimahullah — mengatakan: “Seseorang tidak akan mendapatkan tingkatan orang-orang saleh sehingga pada dirinya terdapat enam hal: Selalu berjuang melawan nafsu, hina karenanya, tidak tidur di malam hari, lebih suka sedikit dengan masalah duniawi, senang ketika ditinggalkan dunia, dan memperpendek angan-angan.”
Sementara itu asy-Syibli — rahimahullah — memukuli dirinya dengan potongan rotan bila rasa kantuk tiba, sampai habis satu ikat ketika menjelang Subuh. Ia sering kali memberi celak matanya dengan garam sehingga tidak bisa tidur. Ia juga sering memukulkan kedua tangan dan kakinya ke dinding bila tidak menemukan alat untuk memukuli dirinya. Ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang berusaha menghalauku kecuali aku berhasil menundukkannya.”
Hal-hal seperti ini tidak semestinya seseorang melawan dan menyudutkan orang-orang yang melakukannya, karena hal ini bagi mereka dianggap dari bagian mencari alternatif yang paling ringan risikonya dari dua alternatif yang sama-sama berbahaya.
Mereka melihat, bahwa menanggung penderitaan sakit di tubuh dianggap lebih ringan risikonya daripada menanggung beban penderitaan karena lupa akan Tuhannya akibat tidur atau yang lain. Ini sebaliknya pendapat yang dipilih oleh selain kaum sufi. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Diantara perilaku yang harus dilakukan seorang murid, hendaknya tidak berbicara dan juga tidak diam kecuali bila secara hukum dianggap darurat atau diperlukan. Mereka telah menganggap bahwa sedikit bicara adalah salah satu dan sendi-sendi latihan spiritual (riyadhat). Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan: “Apabila berbicara itu membuat anda kagum, maka diamlah. Dan apabila diam itu membuat anda kagum maka berbicaralah. Sebab pada pembicaraan terdapat bagian dan kepentingan din dan menampakkan sifat-sifat terpuji.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. sering kali meletakkan kerikil di dalam mulutnya, sehingga ia bisa mengurangi berbicara. Ketika ia ingin berbicara yang tidak ada manfaatnya maka ia ingat dengan kerikil yang ada di mulutnya. Konon katanya, ia meletakkan kerikil di mulutnya selama setahun.
Rasulullah Saw bersabda: “Manusia dijungkir-balikkan kepalanya di neraka hanya karena hasil panen lidahnya.”
Diantara perilaku yang harus dilakukan para murid adalah sering kali merasakan lapar dengan cara yang dibenarkan oleh syariat. Poin ini merupakan poin yang ditekankan dalam menempuh tarekat. Sebagaimana Allah telah menjadikan wukuf di Arafah bagian rukun yang terpenting dalam pelaksanaan ibadah haji, maka Nabi Saw mengatakan, “Haji adalah Arafah.” Maka orang-orang yang menempuh jalan Allah menjadikan lapar adalah jalan menuju Allah.
Sumber:
http://www.sufinews.com/index.php/Artikel/adab-seorang-murid.sufi
Posting Komentar