Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna
diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang
dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia
taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi
gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan.
Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian
dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar).
Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang
keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo
Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit
dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan
dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan
Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki
Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar
sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati
Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan
tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar
Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi
Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I)
dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung
pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas
Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar
Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa
Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de
facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.
Pada
fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada
sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan
Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena,
Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada
Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam
perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang berupaya
merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman
kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar
sebagai daerah pradikan. Penjajahan di Blitar, berlangsung dalam
suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa
maupun harta. Seperti daerah-daerah lainnya, rakyat Blitar pun tidak
menghendaki mereka hidup dibawah ketiak bangsa Eropa yang menjajah
kemerdekaan mereka. Rakyat Blitar kemudian bersatu padu dan bahu membahu
melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda, tidak hanya
pribumi, tetapi juga didukung sepenuhnya oleh etnis Arab; Cina; dan
beberapa bangsa Eropa lainnya yang mendiami Blitar.
Akhirnya, untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, apalagi setelah
diketahui bahwa beberapa bagian dari wilayah Blitar (tepatnya Kota
Blitar), iklimnya sesuai untuk hunian bagi bangsa Belanda, maka pada
tahun 1906, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad
van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang
isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar . Momentum
pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari
lahirnya Kota Blitar. Kepastian kebenarannya diperkuat oleh beberapa
fakta antara lain dengan adanya Undang-undang yang menetapkan bahwa
ibukota (Kabupaten) Blitar dikukuhkan sebagai Gemeente (Kotapraja)
Blitar; Gemeente (Kotapraja) Blitar oleh pemerintah pusat kolonial
Belanda setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 gulden. Gemeente
(Kotapraja) Blitar dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan subsidi
secara terinci; bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan
yang dinamakan "Dewan Kotapraja Blitar" dengan jumlah anggota 13 orang;
dan, undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar itu mulai berlaku
tanggal 1 April 1906. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di
Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah sebanyak 18 Kota yang
meliputi kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang
Semarang, Salatiga, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean di
Pulau Jawa serta lainnya di luar Jawa.
Dampak dari keluarnya undang-undang itu adalah, Kota Blitar menjadi
kota pusat pengendalian perkebunan-perkebunan di wilayah sekitarnya,
sehingga secara otomatis sudah berfungsi sebagai kota pelayanan sejak
didirikan secara legal-formal tanggal 1 April 1906. Padahal, ketika itu,
luas wilayah Kota Blitar “hanyalah” 6,5 km2, dengan jumlah penduduk
sekitar 35.000 jiwa. Kemudian, pada tahun 1928, Kota Blitar pernah
menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan
Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali.
Bahkan, pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang
daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran,
dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang
gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna
biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah
Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud.
Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun
mengikuti identitas itu. Sedangkan, makna dari pewarnaan itu,
lebih-kurang adalah: adanya loyalitas yang luhur atau murni kepada
kepemerintahan Hindia-Belanda. Namun, sejumlah produk hukum pemerintah
kolonial Belanda itu, tidak menyurutkan rakyat Kota Blitar untuk
membebaskan diri dari penjajahan. Sejumlah perlawanan-perlawanan untuk
memerdekakan diri, terus berlangsung.
Hingga akhirnya, Jepang pun berhasil menduduki Kota Blitar, pada tahun
1942. Pada tahun itu pulalah, istilah Gementee Blitar berubah menjadi
“Blitar Shi”, dengan luas wilayah 16,1 km2, dan berjumlah penduduk
sekitar 45.000 jiwa. Perubahan status itu, diperkuat dengan produk hukum
yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu
sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum
berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan
PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi.
Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan
perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia
yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas
siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh
penjajah Jepang. Konon, kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam
otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula,
Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat
berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini, dengan Ir. Soekarno, yang
ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun, Soekarno, ketika
itu, tidak memberikan dukungan secara nyata, karena, Soekarno
beranggapan, lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA
sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan
kemerdekaan. Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali
pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah
Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan
Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA.
Kini, tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang
dikenal pula sebagai Monumen Potlot.
Pemberontakan PETA ini, walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang
efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan
tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak,
kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan, peristiwa
ini telah mampu membuka mata dunia. Cikal bakal pemim pin Republik ini
ternyata telah dipersiapkan, dan pemberontakan PETA telah menggoreskan
tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa
tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh
tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikata sebagai
satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya
diseluruh kawasan asia tenggara dan asia timur yang dijajah pemerintah
kolonial Jepang.
Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17
Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah
yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita
perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar
segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam
Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar", dengan
luas wilayah 16,1 km2, dan dihuni oleh 45.000 jiwa.
Kemudian, pada tahun 1950, berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1950, Kota Blitar berubah statusnya menjadi Blitar dan
dibentuk sebagai Daerah Kota Kecil. Selanjutnya, berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Kota Blitar berubah menjadi
Kotapraja Blitar, dengan luas wilayah tetap dan jumlah penduduknya
menjadi 60.000 jiwa. Dan, berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965,
Kotapraja Blitar pun ditetapkan menjadi “Kotamadya Blitar”, dengan luas
wilayah tetap dan didiami oleh 73.143 jiwa.
Di masa pasca-kemerdekaan hingga dijatuhkannya Ir. Soekarno sebagai
Presiden RI pertama, Kota Blitar juga terkena dampak eskalasi politik di
masa itu. Kesejahteraan yang diidam-idamkan rakyat Kota Blitar, pasca
proklamasi, ternyata belum terwujud. Bahkan, karena Bung Karno
dimakamkan di Kota Blitar, maka terjadilah “pengucilan” secara politik
melalui pembatasan yang sangat ketat terhadap warga bangsa yang akan
datang ke Blitar untuk nyekar ke makam Bung Karno. Pada periode ini,
kota Blitar yang menyimpan berbagai sumberdaya yang sangat besar
seakan-akan tertidur lelap. Api nasionalisme dan kecintaan terhadap sang
Proklamator berusaha untuk dilenyapkan, tetapi yang terjadi justru arus
balik yang sangat kuat melanda sebagian besar warga bangsa yang cinta
terhadap sosok pemersatu bangsa ini. Dan, berlakulah ungkapan bahwa
harum semerbaknya bunga melati tidak bisa ditutupi dan dikucilkan tetapi
justru harumnya akan semakin semerbak dan melekat di dasar hati
sanubarinya rakyat Indonesia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, walaupun pembangunan Kota Blitar
telah berjalan dengan baik, tetapi belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan karena sistem pemerintahan masih menggunakan sistem
sentralisasi dengan pendekatan top-down yang menyebabkan “terpasungnya”
daya kreativitas dan inovasi rakyat. Meskipun demikian, ada pula sisi
yang menyentuh kita semua yakni kecintaan yang tidak pernah luntur dari
warga bangsa terhadap sosok Bung Karno. Hal inilah yang secara tanpa
disadari telah menempatkan Kota Blitar nantinya sebagai daerah yang
paling ramai dikunjungi rakyat Indonesia, terutama pada bulan Juni. Kota
Blitar, menjadikan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno karena dibulan
inilah terangkai berbagai momentum penting sejarah bangsa terutama yang
terkait dengan Bung Karno yakni ; (1) Tanggal 1 Juni sebagai hari lahir
Pancasila. Pada tanggal ini, rakyat Kota Blitar memperingatinya dengan
upacara Grebeg Pancasila, (2) Tanggal 6 Juni sebagai hari lahir Bung
Karno dan (3) Tanggal 20 Juni tahun 1970 adalah hari wafatnya Bung Karno
yang di makamkan di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan.
Kawasan wisata Makam Bung Karno yang dulunya hanya seluas 2970 m, dan
sekarang telah diperluas menjadi 4852 m, semula adalah milik Yayasan
Mardi Mulyo yang diserahkan kepada negara untuk dijadikan Taman Makam
Pahlawan Karang Mulyo. Sementara itu, telah lama ada rencana pemerintah
untuk membangun Taman Makan Pahlawan yang baru di Kota Blitar, sebagai
pengganti Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo ini. Demikianlah, sewaktu
ada niat dan rencana untuk memugar Makam Bung Karno, pembangunan Taman
Makam Pahlawan Kota Blitar yang baru, yakni Taman Makam Pahlawan R.
Wijaya, telah selesai dan seluruh kerangka pahlawan yang semula berada
di Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo telah dipindahkan ke dalamnya. Pada
saat itulah makam Bung Karno dipindahkan kelokasi yang ada sekarang,
didampingi pada kiri-kanannya Makam Ayahanda, R. Soekeni Sosrodihardjo
dan Makam Ibunda, Ida Aju Nyoman Rai. Sekarang, kawasan makam Bung Karno
dimaksud telah dilengkapi dengan perpustakaan dan museum Bung Karno,
sehingga semakin mengukuhkan perkembangannya sebagai ikon pariwisata
religius dan wisata sejarah kota Blitar.
Di masa pemerintahan Orde Baru, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan dari yang semula
hanya 1 Kecamatan dengan luas 16,1 km2, menjadi 3 (tiga) kecamatan dan
20 kelurahan dengan luas keseluruhan menjadi 32,369 km2, Jumlah penduduk
Kota Blitar ketika itu telah mencapai 106.500 jiwa. Sejarah pun kembali
bergulir. Pemerintahan Orde baru dibawah pimpinan Soeharto, dipaksa
turun melalui serangkaian drama politik yang “panas”. Indonesia memasuki
masa baru yang sering disebut dengan Orde Reformasi. Di era ini,
tepatnya pada tahun 1999, dtetapkan sebuah Undang-undang yang sangat
fenomental, yakni Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah. Melalui Undang-undang tersebut, sebutan Kotamadya Blitar
disesuaikan menjadi Kota Blitar. Hingga menjelang satu abad usia kota
ini, Kota Blitar dihuni oleh sekitar 125 ribu jiwa.
Rangkaian sejarah yang terjadi di Kota Blitar apabila diruntut secara
satu persatu sejak dari awal kelahirannya hingga memasuki usia satu abad
ini, ternyata didalamnya memiliki benang merah yang merangkai dengan
sangat kuat satu momentum sejarah dengan momentum lainnya sehingga
mempetegas kenyataan bahwa posisi dan keberadaan Kota Blitar sejak
dahulu hingga sekarang sangat diperhitungkan di kancah regional;
nasional maupun internasional. Hal demikian tentu tidak terlepas dari
keberadaan tokoh-tokoh sejarah sekaliber Ariyo Blitar, Suprijadi dan
Bung Karno yang sepanjang hidupnya tiada pernah berhenti memompakan
semangat kejuangan, nasionalisme dan semangat patriotisme yang
sesungguhnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran Team Hari Jadi Kotamadya
Daerah Tingkat II Blitar yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Blitar Nomor 262 tahun 1988
tertanggal 31 Desember 1988, maka berdasarkan dokumen dan testament yang
ada, dapatlah diketahui bahwa penetapan Hari Jadi Kota Blitar adalah
sebagai berikut :
- Gemeente Blitar dibentuk berdasarkan “Staatsblad van Nederlandsche Indie” tahun 1906 Nomor 150 tertangga 1 April 1906 ;
- Jadi tanggal 1 April 1906, merupakan penetapan berdirinya Gemeente Blitar yang dapat dipastikan kebenarannya, bahwa :
- Wilayah ibukota (Kabupaten) Blitar, lewat Undang-undang diputuskan menjadi Gemeente (Kotapraja) Blitar ;
- Gemeente Kotapraja) Blitar, oleh pemerintah pusat setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 golden ;
- Gemeente Kotapraja) Blitar, dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan wewenang secara terinci;
- Bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan “Dewan Kotapraja Blitar” dengan jumlah anggota 13 orang ;
- Undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar mulai berlaku tanggal 1 April 1906.
Jika memperhatikan pertembuhan dan perkembangan, maka selama perjalanan
pemerintahan 95 tahun ini (1 April 1906 – 1 April 2001) mengalami
perubahan status pemerintahan sebagai berikut :
- Kota Blitar pertama dibentuk berdasarkan Stbld tahun 1906 nomor 150 jo, Stbld 497 tahun 1928 dengan nama Gemeente Blitar dengan luas wilayah 6,5 Km2 dan jumlah penduduk 35.000 jiwa ;
- Dalam tahun 1928 Kota Blitar pernah menjadi Kota Karesidenan dengan nama “Residensi Blitar: dan berdasarkan Stbld nomor 497 tahun 1928 penetapan kembali Gemeente Blitar ;
- Pada jaman Jepang tahun 1942 berdasarkan Osomu Seerai dengan nama “Blitar-Shi” dengan luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 45.000 jiwa ;
- Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1945 dengan nama “Kota Blitar” luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 45.000 jiwa ;
- Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 1950 dengan nama Blitar dibentuk sebagai daerah Kota Kecil ;
- Berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957 dengan nama Kotapraja Blitar, luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 60.000 jiwa ;
- Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 ditetapkan dengan nama “Kotamadya Blitar” dengan luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 73.142 jiwa;
- Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan dengan 20 kelurahan.
- Luas daerah : lama (1 kecamatan = 16,1 Km2) baru (3 kecamatan = 32,369 Km2)
- Jumlah penduduk tahun 1982 = 106.500 jiwa
- Jumlah penduduk sampai dengan tahun 2003 adalah 124.767 jiwa
- Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 nama Kotamadya Blitar disesuaikan dan diganti dengan nama Kota Blitar hingga sekarang.
Nama-nama pejabat, Walikota, Kepala Dearah Kota Blitar
- Jaman Pemerintahan Hidia Belanda
- Th. J. Cathero : Jabatan : Asisten Residen Kediri di Blitar yang merangkap de burgermester di Blitar s/d tahun 1942.
- Th. J. Boerstra : Jabatan : Asisten Residen Kediri di Blitar
- Jaman Pemerintah Jepang
- Drajat Prawiro Soebroto : Jabatan : Shi-tjok Blitar tahun 1942-1943
- Soedrajat : Jabatan: Shi-tjok Blitar tahun 1943-1944
- Mochtar Prabu Mangkunegoro : Jabatan : Shi-tjok Blitar tahun 1944-1945
- Jaman Kemerdekaan s.d Sekarang
- Soerono Harsono : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1945-1947
- Soenarjo Adiprodjo : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1947-1948
- Soenarjo : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1948
- Soetadji : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1949-1950
- R. Ismaoen Danoe Soesastro : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1953-1956
- Soeparngadi : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1956-1960
- R. Koesmadi : Jabatan : Walikota Kepala Daerah tahun 1960-1964 Daerah Kota Blitar
- Rm. Prawiro Fakhihudin : Jabatan : Walikotamadya tahun 1968; Kdh. Tk. II Blitar
- Drs. Soerjadi : Jabatan : Walikotamadya tahun 1969-1975; Kdh. Tk. II Blitar
- Drs. Soekirman :Jabatan : Walikotamadya tahun 1975-1980 dan tahun 1980-1985 (2 periode)
- Drs. Haryono Koesoemo : Jabatan : Walikotamadya tahun 1985-1990; Kdh. Tk. II Blitar
- Drs. H. Achmad Boedi Soesetyo : Jabatan; Kdh. Tk. II Blitar
- H. Istijono Soenarto, SH :Jabatan : Walikota Blitar tahun 1995-2000; Kdh. Tk. II Blitar
- Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS.
Jabatan : Walikota Blitar tahun 2000-2005 dan 2005-2010. - Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS.
- H. M. Samanhudi Anwar, S.H. Jabatan: Walikota Blitar tahun 2010-2015.
http://blitarkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3084
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/11/sejarah-kota-blitar.html
Posting Komentar